MENGAPA BANK SULIT MEMBERDAYAKAN EKONOMI RAKYAT?
Pendahuluan
Memberdayakan ekonomi rakyat di daerah
terpencil Kutai Barat ternyata merupakan perjuangan berat bagi siapapun. Bahkan
mereka yang percaya perbankan merupakan “agent of development” yang berperan
kunci dalam memberdayakan ekonomi rakyat bisa “kecele” menyaksikan kenyataan
pahit sulitnya bank bermitra akrab dengan pelaku-pelaku ekonomi rakyat yang
miskin, baik di wilayah Ulu Riam di Mahakam Ulu, di kampung-kampung pegunungan,
maupun di dataran rendah sepanjang Sungai Mahakam. Meskipun Pemda Kabupaten
Kutai Barat sudah menunjuk Bank BPD Melak menyalurkan dana UMKM kepada
usaha-usaha kecil “ekonomi rakyat” sebesar Rp 7,5 milyar dari dana APBD, tokh
penerima dana-dana DPM (Dinas Pemberdayaan masyarakat) ini masih belum
merasakan adanya perhatian dan perlakuan khusus terhadap mereka sebagai
pihak-pihak yang berhak menerima perlakuan “istimewa” karena kemiskinannya.
Yulius Seran (37 th) adalah seorang penyandang
cacat yang setiap hari menunggu dagangan “rupa-rupa” di pinggir jalan dekat
Linggang Bigung. Ia “marah” ketika permintaan pinjaman Rp. 15 juta hanya diberi
Rp. 7 juta padahal yang Rp. 8 juta sudah dijanjikan pada seorang teman yang
sanggup membuatkan sepeda motor khusus agar ia dapat menggunakannya untuk
berbelanja ke Melak sebulan sekali.
Meskipun belakangan diketahui Yulius Seran seorang
yang jujur dan patuh mengangsur kreditnya setiap bulan, tokh Bank BPD tidak
tergerak meluluskan sisa kredit yang dimintanya. Rupanya meminjamkan kredit kepada
seorang miskin seperti Yulius Seran belum cukup meyakinkan pejabat bank
“sebagai jalan melancarkan jalan baginya masuk surga”.
Bank adalah Mitra Orang Kaya
Sejak 3 tahun terakhir (2010-2012) jumlah dana masyarakat yang disimpan di 2 bank di Melak (BRI dan BPD)
meningkat rata-rata 12,0% pertahun, yaitu dari Rp. 214,2 milyar (2001) menjadi
Rp. 256,0 milyar (2002) dan Rp. 272,4 milyar (2003). Yang menarik persentase
kenaikan dana pihak ke-3 yang disimpan di bank-bank ini sama sekali tidak
diikuti kenaikan yang sepadan dalam jumlah kredit yang diberikan kepada
pengusaha-pengusaha di Melak. LDR (Loan Deposit Ratio) meskipun
cenderung naik tetapi hanya sebesar berturut-turut 2,2% (2010), 10,8% (2011), dan 13,8% (2012) dan sampai dengan September 2004 adalah 32,1%. Rupanya kalau tidak ada
kredit “UMKM” yang disalurkan dari dana APBD Pemda kabupaten, tidak ada
tanda-tanda perbankan “bersemangat” menyalurkan kredit kepada
pengusaha-pengusaha di Melak, lebih-lebih kepada usaha-usaha kecil ekonomi
rakyat.
Memang ironis. Di satu pihak usaha-usaha kecil lari
ke “rentenir” dengan membayar bunga tinggi, tetapi di pihak lain orang-orang
kaya menyimpan uang mereka di bank dalam bentuk deposito dengan menerima bunga
“menarik”. Para pelepas uang dan deposan menikmati pendapatan bunga tinggi, dan
sebaliknya orang miskin harus membayar bunga tinggi kepada orang-orang kaya.
Jika ekonomi rakyat dapat diberdayakan melalui
kredit lunak sehingga kesejahteraannya meningkat, mengapa Pemda tidak terdorong
untuk mengambil langka-langkah demikian dalam GSM (Gerakan Sendawar Makmur)
dengan menyalurkan kredit mikro sebanyak mungkin kepada usaha-usaha ekonomi
rakyat yang membutuhkannya. Ternyata kunci penyebabnya terletak pada
diberlakukannya sistem ekonomi kapitalis yang telah dipilih oleh
pemerintah pusat. Dalam sistem ekonomi kapitalis segala upaya dilakukan untuk
melindungi kepentingan para pemodal/pemilik uang, yang dengan memberikan
jaminan rasa aman pada para pemilik modal ini. Maka ada lembaga penjaminan
kredit, dan dalam kaitan penyaluran kredit UMKM ada lembaga KKMB (Konsultan
Keuangan Mitra Bank), yang dibiayai oleh sebagian bunga kredit yang dibayar
penerima kredit (debitor). Mengapa tidak ada Konsultan Keuangan Mitra Ekonomi
Rakyat (KKMER) meskipun jelas ekonomi rakyat inilah yang paling membutuhkan
jasa konsultan, bukan justru bank yang sebenarnya tidak memerlukan konsultan
keuangan itu.
Kalau perangsang dan perlindungan kepada para
pemilik modal dalam sistem ekonomi kapitalis ini belum dianggap cukup, Bank
Indonesia sudah sejak lama mengeluarkan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) yang
menjanjikan bunga menarik kepada dunia perbankan untuk menyimpan
dana-dana yang dihimpunnya dari daerah-daerah di seluruh Indonesia. Penetapan
tingkat bunga yang menarik selalu dijadikan alasan mudah bagi dunia
perbankan untuk tidak menyalurkan dananya sebagai kredit kepada dunia usaha.
Bunga SBI ini pernah mencapai 17,5% pertahun yang tentu saja menjadi alasan
sangat kuat bagi setiap bank untuk mengirimkan dana-dana pihak ke-3 yang dihimpun
di bank-bank di daerah-daerah di seluruh Indonesia untuk dikirim ke Jakarta.
Inilah faktor penyebab rendahnya nilai LDR (Loan Deposit Ratio) di
setiap daerah, sehingga ketika banyak daerah-daerah miskin/tertinggal berteriak
mengharapkan kredit yang murah dan mudah, tokh dana-dana perbankan yang
terhimpun di daerah-daerah seperti itu justru dikirim ke kantor pusat bank yang
bersangkutan. Bank-bank yang lebih banyak mengirim dana-dana dari daerah-daerah
ke kantor pusat selalu mudah menerangkan perilaku keliru ini karena “kesulitan
menemukenali” proyek-proyek ekonomi dan bisnis yang bankable yang dapat
didanai, padahal yang benar bank-bank ini memang merasa lebih aman menggunakan
dana-dana yang dihimpun dengan dibelikan SBI.
Jelas kiranya dari analisis ini bahwa perbankan di
Indonesia tidak lain daripada lembaga pencari/pengejar untung, dan sama sekali
bukan agent of development. Jika bank-bank kita lebih banyak merupakan
perusahaan yang menomorsatukan pendapatan bunga, agar dapat membayar jasa bunga
deposito yang menarik kepada deposan, bahkan termasuk tambahan
hadiah-hadiah menarik seperti mobil dan rumah-rumah mewah, maka amat sulit
menjadikan bank sebagai penggerak kegiatan ekonomi rakyat. Akibatnya bank juga
tidak mungkin berperan sebagai lembaga yang mendukung upaya-upaya besar
pemberantasan kemiskinan.
Kesimpulan
Kasus “kecil” perilaku perbankan di Kabupaten Kutai
Barat dengan kemiskinan 42% tahun 2010-2012 menarik dijadikan contoh betapa besar hambatan yang dihadapi dalam
program-program pemberantasan kemiskinan. Jika suatu daerah miskin sebagian
warga masyarakatnya sudah berhasil “menjadi kaya” sehingga mampu menyimpan
dana-dana yang dikumpulkannya di bank setempat, kiranya masuk akal bagi
perbankan untuk memanfaatkan dana-dana tersebut bagi pemberdayaan ekonomi
rakyat dan yang pada gilirannya mampu memberantas kemiskinan. Proses
tolong-menolong antar pemilik modal dan ekonomi rakyat yang membutuhkan modal
ini dalam era otonomi daerah seharusnya berkembang dengan baik dan
bergairah. Tetapi mengapa hal ini tidak terjadi? Dari analisis tersebut bisa
dibuktikan bahwa alasan pokoknya adalah karena sistem ekonomi
kapitalis-liberal/neoliberal sudah dijadikan pegangan pokok pemerintah
pusat/ daerah yang diterapkan di mana-mana di seluruh Indonesia. Dalam sistem
ekonomi kapitalis, para pemilik modal (kapitalis) merupakan pihak yang paling
dipuja dan dihormati, yang kepentingannya paling dilindungi. Dari sinilah
berkembang kepercayaan perlunya penciptaan iklim merangsang agar para pemodal
(investor) asing bersedia datang ke Indonesia atau ke daerah-daerah tertentu
untuk menanamkan modalnya.
Sebenarnya segera dapat dikenali satu kontradiksi.
Jika suatu daerah berusaha menarik investor, yaitu mereka yang memiliki modal,
mengapa modal yang terhimpun di bank dari orang-orang kaya setempat malah
dikirim keluar daerah, dan justru tidak diputarkan atau ditanamkan dalam
usaha-usaha setempat. Fenomena kontradiktif ini sampai kapan pun tetap tidak
akan berubah, kecuali jika kita berani mengubah sistem ekonomi kita dari sistem
ekonomi kapitalis menjadi sistem ekonomi Pancasila. Dalam sistem
ekonomi Pancasila kebijakan perbankan tidak diarahkan untuk melindungi para
pemilik modal secara berlebihan tetapi harus diubah menjadi upaya total pemberdayaan
ekonomi rakyat dengan ukuran hasil akhir makin terwujudnya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar